Rabu, 04 Februari 2009

Alergi Susu Sapi Pada Bayi

Jakarta - Setelah persalinan, air susu ibu Dian, 24 tahun–bukan nama sebenarnya– tak jua kunjung keluar. Sebagai gantinya, dia menggunakan susu formula untuk asupan buah hatinya Arsya yang kini menginjak usia enam bulan. Nahas, alih fungsi itu tak manjur buat si bocah. Arsya kerap gumoh dan sesekali mencret. Terakhir, momongannya itu terserang diare hingga satu pekan. Setelah menyambangi dokter, diketahui bahwa Arsya alergi susu sapi.

Menurut dr Badriul Hegar, Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, alergi susu sapi kerap menerpa anak di bawah 3 tahun. Terutama di bawah usia 12 bulan. “Ada reaksi imunologi di tubuh si anak,” katanya, dalam seminar bertajuk “Alergi Susu Sapi pada Anak dan Pengaruhnya pada Saluran Cerna” di Jakarta, pekan silam.

Imunoglobulin (IgE) merespons protein susu sapi dan dinilainya sebagai benda asing dalam tubuh anak. Akibatnya, protein tadi tidak tercerna baik, malah menimbulkan gangguan pencernaan. Apalagi, pada bayi, yang sistem saluran cernanya memang belum kuat. Tak mengherankan jika gejala klinis alergi yang sering tampak adalah gangguan saluran cerna (50-80 persen). Ditandai dengan muntah, diare, bahkan terkadang disertai darah, lalu sembelit. Gejala lain berupa reaksi pada kulit, misalnya eksim dan urtikaria, juga gangguan saluran napas seperti batuk berulang dan asma.

Untuk itu, Hegar mengimbau, kenalilah sandi-sandi anak alergi. Pada kasus Arsya, reaksi yang menyimpang adalah diare selama tujuh hari. “Bayi yang nangis tidak berhenti selama tiga jam, tiga hari dalam seminggu, juga merupakan pertanda alergi,” ujarnya. Namun, jika menangisnya berhenti ketika diberi susu, itu bukan alergi.

Adapun untuk mengidentifikasi lebih detail kehadiran alergi, Hegar menyarankan untuk menghentikan dulu asupan susu formula (dari susu sapi) selama dua sampai empat pekan. Selanjutnya, berikan susu yang sejenis. Bila si anak bereaksi sama, dipastikan dia mengidap alergi susu sapi.

Kalau sudah begitu, menurut Hegar, bayi pengidap alergi protein susu sapi dapat diberikan susu khusus, yaitu susu yang sudah mengalami proses hidrolisis. Ada dua jenis, yakni susu formula asam amino dan susu formula protein hidrolisat ekstensif. “Susu formula asam amino lebih bagus ketimbang susu formula protein hidrolisat ekstensif karena efikasinya (efisien dan efektifnya) lebih tinggi,” ujarnya saat dihubungi Tempo dalam kesempatan terpisah, kemarin sore.

Susu formula hidrolisat ekstensif sebetulnya juga mengalami proses pemecahan protein, tetapi hanya sebagian. Proses ini membuat sejumlah protein yang menjadi alergen tidak terminum bayi. Sedangkan susu formula asam amino menjalani proses lebih panjang lagi, hingga seluruh protein susu sapi dipecah dengan sempurna. Kini banyak dijual produk berisi protein asam amino sebagai pengganti susu ibu.

Sejatinya, bayi pengidap alergi itu mengkonsumsi susu formula asam amino. Namun, selain harganya selangit, untuk terapi awal, kata Hegar, cukup memakai susu formula protein hidrolisat ekstensif. Tetapi, pada kasus alergi susu berat, seperti anak terserang syok anafilaksis (reaksi alergi akut), asam amino sebaiknya dipakai dari pertama.

Lebih lanjut, dalam perkembangan kasus alergi, selain susu khusus tadi, ada sejumlah masyarakat memilih susu kambing. Tetapi, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia ini tidak merekomendasikannya. “Rantai protein yang dimiliki kambing sama saja dengan susu sapi,” ia mengungkapkan.

Dalam penelitian dokter Ronny Rachman Noor, dari Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, ditemukan kandungan protein susu kambing dan sapi relatif sama meski unsur (alfa-s-1-) kasein susu sapi tidak ada pada susu kambing. Hal yang sama berlaku juga untuk susu kedelai. Hegar memaparkan, 30-40 persen bayi yang alergi susu sapi juga alergi terhadap susu kedelai.

Nah, sebetulnya apa faktor utama bayi menjadi alergi? Begitu banyak riset membuktikan, alergi menimpa si anak kala mereka tidak mendapat kolostrum air susu ibu. Hipotesis ini, kata Hegar, menunjukkan pentingnya air susu ibu bagi bayi di masa tersebut. Namun, tidak dimungkiri, karena satu dan lain hal, banyak kasus alergi yang membuat pemenuhan ASI sulit dilakukan, dan akhirnya sang ibu terpaksa memberi susu formula.

Merunut ke belakang, alergi bawaan memang telah menjadi kambing hitam pada beberapa kasus. Teorinya, jika si ibu yang membawa genetika alergi, si anak berisiko 60 persen. Sedangkan si ayah turun menjadi cuma 20 persen. Namun, kombinasi keduanya membuat risiko meningkat menjadi 70 persen. Dalam prevalensi satu dekade terakhir, para ahli memprediksi sekitar 2 hingga 7,5 persen anak pada usia kurang dari dua tahun mengidap alergi protein susu sapi.

Yang jelas, Hegar dalam siaran persnya berpesan, kecurigaan alergi susu sapi pada anak bukan alasan buat menghentikan pemenuhan air susu ibu kepada bayi. Sang ibu hanya harus menyortir asupan makanannya . Artinya, mereka harus menjauhi susu sapi dan produk bawaannya. Namun, setelah sekian waktu, mereka perlu memperkenalkan lagi susu sapi ke dalam menu secara bertahap. Diketahui, 89 persen alergi susu sapi bakal sembuh saat si anak menginjak usia satu tahun dan kurang dari 5 persen, alergi terus menetap hingga usia 4 tahun.

sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2009/01/22/brk,20090122-156417,id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar